Saturday, December 23, 2006

Mengapa Dairi dan Pakpak Bharat Menolak Bergabung dengan Bakal Propinsi Tapanuli

16 Desember 2006 12:24:20

Pengirim: sakti

1.Konsep Provinsi Tapanuli tidak jelas, sumir, dan karenanya sangat meragukan bagi kami: [a] Tidak ada studi akademis yang komprehensif dan berkualitas tentang kemungkinan suksesnya Provinsi Tapanuli. Hal ini sangat ironis, karena untuk mendirikan sebuah perusahaan saja – yang hanya mempertarukan kepentingan satu dua investor saja -- dibutuhkan feasibilty study yang baik; sedangkan di pihak lain bakal Provinsi Tapanuli mempertaruhkan nasib jutaan orang. [b] Klaim-klaim yang dibuat oleh Tim Pemrakarsa dalam “Ringkasan Rencana Kerja Forum Masyarakat Tapanuli tentang Pembentukan Provinsi Tapanuli, antara lain: [ii] Tapanuli mengalami ketertinggalan [iii] Minim sarana pendidikan dan perekonomian, [iv] Sumber daya yang keluar lebih besar daripada yang masuk, [v] Provinsi Sumatera Utara tidak mungkin melayani rakyatnya dengan efektif dan efisien, sama sekali tidak mempunyai dasar kuantitatif, bahkan sekadar perbandingan saja pun, sehingga amat diragukan dan tidak meyakinkan sama sekali. [3] Oleh karena itu keyakinan Tim Pemrakarsa bahwa Provinsi Tapanuli akan mampu mempercepat proses pembangunan tidak dapat dipertanggungjawabkan. [4] Dalam personalia Tim Premrakarsa yang disebut di atas, semuanya terdiri dari orang Toba, tidak ada satu pun orang Pakpak, Karo, dan Simalungun padahal selain etnis Toba, ketiga etnis tersebut memiliki jumlah yang signifikan di Dairi. Orang Pakpak khususnya merasa sangat berduka karena mereka adalah pemilik hak ulayat tanah Dairi dan Pakpak Bharat sehingga aksi-aksi Tim Pemrakarsa ini dirasakan sebagai melukai martabat, marwah, dan kehormatan orang Pakpak.

2. Pendekatan dan aksi-aksi Tim Pemrakarsa di Dairi dan Pakpak Bharat sangat jauh dari nilai-nilai adat dan budaya Toba sendiri [seperti “sidapot solup do na ro”] sehingga menemui penolakan khususnya dari orang Pakpak, Karo, Simalungun, bahkan sebagian orang Toba sendiri.

3. Secara ekonomis kami tidak mungkin lebih maju apabila bergabung dengan bakal Provinsi Tapanuli yang beribukota di Sibolga, karena: [1] Jarak ke Sibolga (waktu tempuh 6 jam) lebih jauh dibandingkan dengan jarak ke Medan (waktu tempuh 3 jam). [2] Secara ekonomis Medan lebih menguntungkan bagi kami karena kami sudah memiliki banyak aset di sana berupa tanah, rumah, sekolah, lembaga bisnis dan jaringan usaha, sarana pendidikan, komunitas dan jaringan budaya, kekerabatan dan fasilitas ibadah; sedangkan di lain pihak Sibolga adalah kota yang asing bagi kami sebab di kota tersebut kami tidak mempunyai aset apa-apa, seperti yang di sebut di atas. [3] Kami mempunyai sumber daya alam yang cukup untuk diolah ke depan melalui kerjasama dengan pihak-pihak yang sudah teruji profesionalismenya. Contoh, PT Dairi Mineral dimiliki dan dioperasikan bersama oleh Herald Reseources (Australia) dan PT Aneka Tambang.

4. Secara budaya, di Dairi, orang Pakpak sudah lama membina kekerabatan yang kuat dengan orang Karo, Simalungun, Mandailing, dan Toba. Hal ini setangkup pula dengan kenyataan sosiologis dan kultural orang Pakpak di Medan. Sedangkan di Sibolga kami tidak mempunyai jaringan budaya maupun modal sosial apa-apa.

5. Meski pun di masa lalu terdapat sejumlah gesekan dengan orang Toba, namun kini kami sedang dalam proses penyembuhan dan ke depan kami sedang berusaha sungguh-sungguh untuk menciptakan keharmonisan etnis sesuai dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Sedangkan kampanye pembentukan Provinsi Tapanuli ini malah sudah mulai merusak hubungan antaretnis.

Atas Nama Seluruh Komponen Masyarakat Pakpak di Seluruh Nusantara
1. Lembaga Adat Pakpak Sulang Silima Sipitu Marga - Sidikalang
2. Lembaga Kebudayaan Pakpak (LKP) - Sidikalang
3. Ikatan Keluarga Pemuda Pakpak Indonesisa (IKPPI) - Sidikalang
4. Forum Komunikasi Marga-marga Pakpak (FKMP) - Salak
5. Generasi Muda Pakpak Dairi (GEMPADA) - Medan
6. Himpunan Masyarakat Pakpak (HIMPAK) - Medan
7. Ikatan Pemuda Pakpak Dairi (IPEPADA) - Pekanbaru
8. Ikatan Keluarga Pakpak Dairi (IKEPADA) - Jakarta
9. IKEPADA - Siantar Simalungun
10. IKEPADA - Irian Jaya Barat
11. HIMPAK - Bandung
12. Kerukunan Keluarga Masyarakat Pakpak (KMP) – Bekasi

Catatan
Bagi organisasi Pakpak yang belum tercantum silahkan mengirim dukungan ke redaksi.

Dairi dan Pakpak Tolak Protap

Sunday, December 17, 2006

10 Des 06 21:39 WIB
IKPPI Tolak Pakpak Dan
Dairi Masuk Protap
Medan, WASPADA Online


Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Keluarga Pemuda Pakpak Indonesia (DPP IKPPI), Agus Ujung, SH menolak keras Kab. Pakpak Bharat dan Kab. Dairi masuk ke dalam Provinsi Tapanuli (Protap) yang kini dalam wacana pembentukan.
Hal itu diungkapkan kepada Waspada, Sabtu (9/12) di Medan menanggapi semakin gencarnya persoalan mengenai Pakpak Bharat dan Dairi yang oleh sekelompok orang akan diikutkan dalam wacana wilayah Provinsi Tapanuli.

Dia bersama Prof. Dr. Aslim Sihotang, Penasehat DPP MKPI (Majelis Kerjasama Pakpak Islam) dan Penasehat DPP Himpak (Himpunan Masyarakat Pakpak) serta Ir. Baharuddin Berutu, Ketua DPP MKPI mengungkapkan, Dairi yang kini dimekarkan menjadi dua kabupaten, yakni Kab. Pakpak Bharat, dari dulu terkenal dengan penduduk asli Pakpak.

Keramahan suku Pakpak terhadap penduduk pendatang, memberi peluang kepada penduduk pendatang melakukan berbagai aktivitas sesuai keinginan dan kedaerahan asal masing-masing. Itu membuktikan penduduk asli Pakpak sudah jauh mengerti, sangat memahami dan mendalami arti pancasila dan Bhineka Tunggal Ika.

”Suku apa saja yang berdomisili di Dairi dan Pak Bharat bebas mengekspresikan aspirasinya, dengan catatan, kesemua itu tidak bertentangan dengan norma hukum pemerintah, adat dan agama.” kata dia mengingatkan kepada suku pendatang tidak macam-macam di tanah leluhur suku Pakpak.

Yang disayangkannya adalah, keramahtamahan suku Pakpak selama ini ternyata berdampak lain dan cenderung diartikan sebagai boomerang bagi etnis Pakpak sendiri. ”Malah tak jarang terdengar ucapan menyebutkan suku Pakpak bodoh atau sebagai suku yang bisa dibodoh-bodohi,” katanya sedih mendengar ucapan miring seolah-olah suku Pakpak tidak ada arti apa-apa di mata suku pendatang.

Tudingan merendahkan martabat suku Pakpak kata Ujung, terkait leluasanya suku pendatang di dua kabupaten yang berada di bagian paling selatan perbatasan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) memaksakan kehendak dalam mengambil sikap demi kepentingan pribadi dan golongan, tanpa menghiraukan nilai kebersamaan dan kekeluargaan yang terlah terbina selama ini.

Untuk menyelamatkan bumi Dairi dan Pakpak Bharat dari tangan kotor dan penjajah dari suku lain, Agus Ujung menyatakan, satu-satunya jalan adalah IKPPI bersama seluruh etnis Pakpak yang berada dalam berbagai elemen masyarakat Silima Suak menyatakan siap membela habis-habisan, dan mempertahankan sampai titik darah terakhir tetap bergabung dengan Provinsi Sumut. Andaikata tidak memungkinkan, pilihan lain akan mendekat ke Provinsi Aceh Lauser, Antara.

”Dosa besar bagi kami, andaikata tidak mampu mempertahankan bumi warisan leluhur suku Pakpak,” kata Ujung mengenang jasa perjuangan leluhurnya, namun tetap tegas dalam sikapnya tidak bersedia bergabung dengan Provinsi Tapanuli yang kini menghadapi prokontra dalam wacana pembentukannnya.

Kepada seluruh kader IKKPI, dia mengulangi pesannya agar tetap mewaspadai pengaruh luar yang sengaja merusak tatanan kekeluargaan yang sudah lama terbina baik.

Pemaksaan Kab. Dairi dan Pakpak Bharat masuk ke dalam wilayah Provinsi Tapanuli, sebagai suatu pertanda bumi leluhur suku Pakpak akan terjual secara tak langsung, disadari ataupun tidak, kepada etnis lain. ”Bila terjadi, punahlah etnis Pakpak,” katanya mengaku, itu merupakan salah satu alasan etnis Pakpak menolak Dairi dan Kabupaten Pakpak Bharat masuk ke dalam Provinsi Tapanuli yang masih dalam wacana itu

Ikatan Keluarga Pemuda Pakpak

MARGA DAN MITOS



Di Nusantara, salah satu komunitas yang sangat berpegang teguh dengan marganya adalah orang Batak. Walaupun begitu tidak tertutup kemungkinan banyak juga komunitas lain yang mempunyai praktek yang sama.

Namun, kalau kita pelajari persoalan marga ini secara mendetail dan hubungannya dengan posisi sosial dan politik sejarah, banyak juga orang, khususnya generasi Batak, yang mengalami kebingungan.

Pengertian marga dalam masyarakat Batak sangatlah berbeda-beda. Khususnya di tiap-tiap sub-kultur, seperti Toba, Simalungun, Mandailing, Karo dan lain sebagainya. Perbedaan ini disebabkan pengidentifikasian marga yang terjadi secara bertahap sejak dahulu kala telah mengalami perubahan-perubahan sehingga penentuan marga tidak hanya dilakukan dengan satu cara, misalnya keturunan, tapi lebih dari beberapa cara.

Barulah pada abad ke-19, sebuah usaha untuk mengorganisir marga-marga dan klasifikasinya menurut kecenderungan persamaan yang dimiliki. Usaha tersebut dilakukan untuk meneliti sejarah sosial politik Batak yang dipioniri oleh pegawai-pegawai penjajah Belanda, seperti Ypes dan Hutagalung.

Dapat dipahami sejauh mana independensi penelitian tersebut yang pada akhirnya sudah dimaklumi bahwa hasilnya pasti tidak akan berlawanan dengan kepentingan Belanda saat itu. Akibatnya, cengkeraman politik kolonial sebegitu jauh menghujam ke dalam sistem sosial Batak, sehingga adat Batak yang dianggap murni tersebut menjadi semakin semerawut, kacau dan gelap karena politik devide et impera tersebut. Setiap penulis kemudian selalu dipengaruhi oleh paham politik yang dianutnya.

Namun, adalah sesuatu yang wajar bila pernghargaan tetap harus diberikan kepada ahli-ahli Belanda tersebut, sebagai sebuah starting point dalam penelitian sosial Batak. Satu hal yang mesti dipahami bahwa penelitian harus selalu dilakukan untuk mengoreksi dan meluruskan atau paling tidak memberikan alternatif pemikiran yang lain, walau paska kemerdekaan sekalipun, karena sampai saat ini belum ada sebuah kodifikasi yang jelas apa dan bagaimana sistem budaya Batak itu.

Apalagi diperparah dengan adanya kepentingan keyakinan yang membawa kepada fanatisme yang menutup pintu rapat-rapat dari kenyataan adat yang sudah baku. Satu hal yang luput dari buku-buku selama ini adalah, dimana ada anggapan bahwa adat dan budaya Batak itu berpusat pada adat dan budaya Toba, dan adat budaya Toba adalah adat dari mereka yang tinggal di Samosir atau Toba.

Pandangan ini sangat keliru. Karena mereka yang Toba bukan saja berdiam di sekitar danau Toba, tapi juga di Humbang, Silindung dan lain sebagainya. Dimana setiap tempat ini mewakili sistem adat dan budaya yang sangat spesifik. Jadi argumen di atas harus sedapat mungkin dihindari. Penulisan adat dan budaya Batak apalagi sejarah Batak harus melibatkan sejarah semua komunitas seperti Karo, Dairi dan Simalungun, dan juga melibatkan semua sub-kultur seperti Lontung, Borbor, Pasariburaja dan Sumba.

Dengan demikian bila kita meneliti marga, seharusnya kita tidak terpaku dengan standarisasi keturunan seperti di Toba tapi juga memasukkan sistem yang di pakai di masyarakat Karo yang sifatnya lebih kepala teritorial daripaga lineage.

Pendeta Aritonang menyatakan tidak ada perlunya untuk berdebat apakah orang-orang dari tiap marga itu merupakan keturunan aseli dari satu orang pembawa marga. Marga tidak absolut berhubungan dengan hubungan keturunan secara biologis. Menurut W.K.H Ypes, Bijdrage tot de kennis van stamverwantschap, de inheemsche rechtsgemeenschappen en het grondrecht der Toba-en Dairi-Bataks [Contribution towards the Knowledge of Genealogical Relationships of the Indigenous Legal Communities and the Basic Law of the Toba and Dairi Bataks] (1932), pp. 9ff. Melalui serangkaian penelitiannya yang menrujuk Batak ke abad ke-14, sejak dahulu ada enam kemungkinan saluran dan cara dalam pembentukan marga, ini hanya di Toba-belum termasuk Mandailing, Karo, Dairi, Simalungun dan lain sebagainya-:

1. Melalui garis keturunan, yang paling banyak dianut.
2. Dengan cara adopsi.
3. Hasil hubungan di luar pernikahan, di mana sebuah komunitas marga lalu menerima anak tersebut merupakan bagian dari marganya.
4. Melalui sebuah upacara atau pesta adat, biasanya disebut, membeli marga.
5. Melalui pembubaran di luar Bonapasogit, di mana jumlah marga semakin banyak atau melalui penyatuan atau perubahan akibat asimilasi kepada yang lain. Misalnya orang Mukkur menukar marganya menjadi Marbun. Sitohang menjadi Situmorang dan lain sebagainya.
6. Perkawinan yang melanggar prinsip eksogami. Sehingga keturunannya memilih untuk mendirikan marga yang baru.

Walaupun begitu, penggunaan marga tetap saja diperlukan dalam menentukan posisi adat dalam sebuah perhetalan dan adat. Acara-acara seperti ini tidak memerlukan penentuan marga secara absolut karena bersifat sosial. Artinya tidak perlu penelitian DNA yang spesifik untuk menandakan siapa keturunan siapa. Karena bisa saja sebuh marga yang sudah eksis sejak dahulu kala, ternyata hanya marga baru hasil hubungan non-eksogami, yang akan menimbulkan masalah sosial.

Beberapa orang percaya, sebelum penulisan sejarah marga-marga di abad ke-19, marga-marga di tanah Batak berkembang begitu saja. Di Tanah Karo misalnya marga saat itu, lebih bersifat teritorial tidak seperti sekarang. Seorang marga Sembiring, bukan berarti hanya keturunan Sembiring, tapi sudah pasti berasal dari kampung Sembiring, seperti marga Barus di Karo, bukanlah dari seorang nenek moyang yang bernama Barus, tapi marga ini digunakan orang-orang yang bermigrasi ke tanah Karo dari Barus. Maka tidak perlu diherankan mengapa Guru Patimpus, yang merupakan cucu Sisingamangaraja I, disebut-sebut bermarga Sembiring. Karena memang saat dia turun dari bukit, di lembah pinggiran Medan sekarang hanya ada satu kampung yakni kampung Sembiring. Jadi walaupun dia marga Sinambela sesuai dengan adat Toba, tapi sah-sah saja di bermarga Sembiring sesuai dengan tradisi Karo dulunya.

Di dalam adat budaya Toba sendiri, walau sudah dipaksakan kodifikasinya, tetap saja terdapat kerancuan. Misalnya ada yang bilang marga di Toba itu hanya terbagi dua rumpun. Lontung dan Sumba. Padahal selain Lontung masih ada Borbor, Sagala, Malauraja dan keturunan Tatebulan lainnya. Lalu marga apa yang harus mereka pakai??? Apakah seseorang berhak mengatakan bahwa mereka bukanlah Batak hanya karena mereka bukan Lontung dan Sumba??? padahal jumlah mereka jutaan orang dan mungkin saja lebih terlibat sebagai aktor dalam sejarah peradaban Batak dari kedua kelompok tersebut di atas. Akan dikemanakan keturunan Tatea Bulan yang lainnya???? Apakah marga Toga Simarata yang merupakan keturunan Raja Uti putra Tatea Bulan akan dibuang begitu saja. Dan siapa yang berhak membuangnya??? Pengadilan sekalipun tidak dapat memutuskan sesuatu yang sudah menjadi hukum alam.

Pengkultusan terhadap marga seharusnya bukanlah sebagai bagian dari mendiskreditkan kelompok yang lain yang nyata-nyata masih satu keturunan dan asosiasi. Namun penghargaan terhadap marga tersebut, selain untuk fungsi adat dan sosial, juga menjadi alternatif memperkaya rujukan terhadap penelusuran sejarah Batak. Namanya juga sejarah, maka tidak ada yang hukum-hukum pasti dalam penulisannya. Setiap ada bukti baru yang ditemukan, maka fakta sejarah akan dapat berubah menjadi hanya sekedar wacana. Dan wacana sejarah yang bermacam-macam adalah sangat dibenarkan.

Bila kita merunut peta marga yang ditulis di abad ke-19 oleh pegawai Belanda tersebut, maka yang didapat adalah abad ke-14 sebagai awal adanya masyarakat Batak. Artinya, perunutan marga tersebut hanya membawa para sejarawan ke generasi di abad ke-14 M saja. Lalu yang menjadi pertanyaan ketika Ptolemeus menulis tentang masyarakat Batak di abad ke-2 M, siapakah mereka itu??? Ini berarti ada yang terputus dari silsilah marga tersebut, yang masih membutuhkan penyempurnaan di sana-sini.

Argumen lainnya, bukti-bukti arkeologi yang ditemukan di Lobu Tua, Portibi dan lain sebagainya di tanah Batak, menunjukkan adanya komunitas Siregar dan Harahap yang mapan di daerah-daerah tersebut sejak abad ke-9 M. Lalu siapakah mereka??? Apakah itu hanya orang asing dari India, Arab atau Persia saja. Apakah mereka dapat hidup di Lobu Tua tanpa kontak dengan pribumi. Padahal dalam tulisan-tulisan asing yang singgah di Fansur di abad yang sama, mereka mengatakan bahwa daerah tersebut dihuni oleh penduduk lokal dengan ciri-ciri tertentu. Akan dikemanakan Guru Marsakkot Pardosi yang menurut sejarah lisan menjadi pendiri Lobu Tua sebelum abad-abad ke-6 M. Lalu apakah orang India begitu saja masuk ke Portibi dan mendirikan candinya lalu meninggalkannya begitu saja. Lalu ketika mereka masuk ke Portibi dikatakan bahwa mereka harus bertarung terlebih dahulu dengan masyarakat setempat yang sudah hidup bertani dengan sistem irigasi yang canggih beserta bendungan-bendungan batu raksasa untuk saat itu, siapakah penduduk aseli tersebut di Portibi???

Inilah pertanyaan yang harus dijawab oleh para sejarawan tanpa dibelenggu oleh kayakinan, paham politik dan sebagainya yang menjadikan sejarah Batak menjadi bias apatah lagi menjadi dimonopoli oleh sekelompok orang tertentu.

By. Julkifli Marbun

MARGA DAN MITOS

Blog Archive