Saturday, March 24, 2007

Ratusan warga yang terdiri dari etnis Dairi, Pakpak Bharat, Tapanuli Tengah (Tapteng) dan Sibolga melakukan aksi unjuk rasa di Kantor Gubsu dan DPRD Sumut, Selasa (6/2). Aksi dengan membawa alat musik gondang dan pakaian adat Pakpak ini secara tegas menolak bergabung dengan pembentukan Provinsi Tapanuli (Protap).

“Kami bukan etnis Batak dan bukan sub dari Batak, tapi kami etnis yang berdiri sendiri. Kami menolak dan sampai titik darah terakhir tetap tidak akan mau bergabung dengan Provinsi Tapanuli,” kata Sekjen Ikatan Keluarga Pemuda Pakpak Indonesia (IKKPI) Ir Ahmad Padang dalam orasinya.

Aksi yang membawa spanduk penolakan bergabung dengan Protap itu yakni Ikatan Mahasiswa Tapteng Sibolga (IMATATSI), Forum Masyarakat Pakpak Medan Sekitarnya, Majelis Budaya Pesisir dan Pariwisata Sibolga-Tapteng Pantai Barat Sumut (PP MBPP-ST). Bahkan, lebih tegas lagi dalam spanduk yang dibawa warga Dairi dan Pakpak “Kalau Provinsi Sumatera Utara tak butuh Dairi dan Pakpak Bharat, Kami siap bergabung dengan Aceh Singkil”.

Ahmad Padang mengatakan, selama ini etnis Pakpak di Dairi dan Pakpak Bharat dibodoh-bodohi dan disebut-sebut setuju bergabung dengan Protap. “Kami tidak mau bergabung dengan Protap, kami tetap berada di Provinsi Sumatera Utara. Karena Protap merupakan kumpulan kabupaten yang masuk dalam peta kemiskinan,” jelasnya.

Di tempat yang sama, Ketua Umum PP MBPP-ST Radjoki Nainggolan mengatakan, masyarakat pesisir khususnya dan masyarakat Sibolga Tapteng Pantai Barat Sumut umumnya secara pribadi, organisasi, keluarga dan pemuda/pemudi tidak men-dukung Provinsi Tapanuli walau di mana pun ibukotanya. Salahsatu alasannya, Protap diyakini tidak akan mampu menyejahterakan rakyatnya, Protap akan menimbulkan konflik antar etnis dan agama.

Aksi penolakan Protap ini akhirnya bubar setelah diterima Kabag Pengembangan Daerah Biro Otonomi Daerah (Otda) Setdaprovsu Syaiful M Hutasuhut didampingi Kasubbag Pengembangan Daerah Fajri Effendi Pasaribu mewakili Gubsu Rudolf M Pardede. Seluruh pernyataan sikap dari berbagai elemen itu diterima Syaiful Hutasuhut dan berjanji akan menyampaikannya ke Gubsu.

Di DPRD Sumut, tokoh muda Pakpak Drs Agus Salim Ujung (Wakil Sekretaris DPW PAN Sumut) menegaskan, omong kosong jika Pakpak Bharat dan Dairi bergabung ke Protap, masyarakat akan semakin sejahtera. “Bukan tidak mungkin, jika bergabung akan semakin terpinggirkan,” kata Agus Salim Ujung didampingi Kamaruddin dan Sanusi.

Para pengunjuk rasa dalam aksinya diterima langsung Ketua DPRD Sumut Abdul Wahab Dalimunthe SH didam-pingi Wakil Ketua Japorman Saragih dan beberapa anggota dewan lainnya. “Aspirasi pengunjuk rasa menolak Protap akan ditampung dan ditindak-lanjuti ke Pansus Pembentukan Pro-tap,” kata Wahab.

Unjuk Raja Karena Dieksploitasi


Kesultanan Dan Penulisan Sejarah

Peran Kesultanan-Kesultanan Barus Dalam Penulisan Sejarah Batak




Banyak orang menyangka bahwa penulisan sejarah Batak baru dimulai pada abad ke-20. Hal ini dapat dimaklumi karena buku-buku yang beredar di tengah-tengah masyarakat ditulis oleh pakar-pakar sejarah yang terperangkap dalam misi dan pemahaman sekitar zaman Belanda dan peran-perannya dalam masyarakat Batak.

Namun, bila kita cermati dengan sungguh-sungguh, penulisan sejarah Batak sebenarnya telah lama dilakukan setidaknya sejak berabad-abad yang lalu oleh para sultan dan cendikiawannya, jauh sebelum buku-buku versi Belanda mendominasi perpustakaan-perpustakaan nasional.

Naskah-naskah sejarah Batak tersebut merupakan kunci utama dalam mengungkap apa yang disebut dengan misteri dan legenda-legenda dalam buku modern sekarang ini. ‘Misteri dan legenda’ tersebut muncul akibat dari persepsi sempit yang banyak dianut oleh para pakar modern yang malah dianggap sebagai buku pegangan.

Gejala yang paling lucu dari penulisan sejarah tersebut adalah dengan mengganggap buku pegangan tersebut sebagai acuan mutlak dan mulai mengembangkannya dengan ‘teori-teori’ yang sepertinya masuk akal dengan berbagai hipotesa dari zaman-zaman yang paling langka. Sepertinya ada kesengajaan untuk melompati dan melangkahi zaman pertengahan, saat zaman sebelumnya langsung dihubungkan dengan zaman sekarang. Yang sudah barang tentu menghasilkan sebuah kesimpulan yang sangat keliru.

Contoh utama dari pemahaman itu, terdapat dalam pemahaman tokoh Raja Uti, Jonggi Manoar dan lain sebagainya yang malah menimbulkan bias yang sangat jauh, sampai-sampai malah memperkaburkan sejarah tersebut.

Hilangnya peran kosakata Barus dan beberapa negeri lainnya dalam pembahasan sejarah Batak modern ini, telah menciptakan gap-gap dan lobang-lobang yang menganga dalam penulisan sejarah sehingga sejarah Batak menjadi eksis tanpa bentuk.

Peran kesultanan Barus-baik individu lingkar elit maupun masyarakat cendikiawan di dalamnya- dalam penulisan sejarah yang selama ini diendapkan, sebenarnya sangat signifikan dalam membantu memahami sejarah kuno Batak tanpa hipotesa-hipotesa yang kelihan benar tapi sangat ngawur.

Beberapa naskah yang berhasil dikumpulkan saat masih berkuasanya kesultanan-kesultanan di Barus adalah:

Asal Turunan Raja Barus

Naskah ini sekarang berada di Bagian Naskah Museum Nasional Jakarta dengan no. ML 162. Dalam katalog van Ronkel naskah ini bernomor Bat. Gen. 162.

Naskah ini menguraikan keturunan, pemukiman dan hukum-hukum raja-raja Barus. Dengan beberapa kekecualian, kumpulan naskah itu mengenai pemukiman dan sejarah keluarga raja-raja Barus di Hulu.

Bagian awal menceritakan perkembangan dan mobilitas orang Batak marga Pohan dan Pardosi, daerah-daerah yang mereka buka dan bangun, peperangan dan perebutan wilayah dengan marga lain dan lain sebagainya.

Semuanya dijilid menjadi satu buku unkuran folio dengan sampul karton. Bagian-bagiannya kebanyakan ditulis dengan tinta, dengan huruf Arab Melayu atau yang sering juga disebut dengan tulisan Jawi.

Di naskah ini juga didapat sejarah Negeri Rambe, hubungan diplomasi dan perdagangan antara Aceh dan Tanah Batak, antara Kesultanan Barus dan orang-orang Toba, Dairi, Pusuk Buhit, Bakkara, Lintong, Tukka, marga Pasaribu dan Naipospos. Naskah ini sendiri dimulai dengan sebuah pembukaan “Inilah hikayat cerita Barus permulaannya Batak datang dari Toba dari suku Pohan seperti tersebut di bawah ini.”

Dari penjelasan mengenai Negeri Rambe, didapat sebuah pemahaman mengapa marga Pohan dan Pardosi yang menjadi pembuka dan raja di tempat tersebut, menjadi sangat sedikit jumlahnya.

Hal yang penting adalah tercatatnya sejarah keluarga raja-raja Hulu di Barus, silsilah dan tarombonya, dan beberapa aturan dan perundang-undangan dalam kesultanan yang sangat berguna dalam kelangsungan eksistensi pemerintahan saat itu.

Juga terdapat fasl-fasal mengenai adat istiadat dan tatakrama dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan dalam pengangkatan raja dan para pejabat negara seperti penghulu, kebiasaan dalam pemakaman dan lain sebagainya seperti perjanjian-perjanjian kenegaraan dan adat.

Selain yang bersangkutan dengan raja-raja hulu, naskah ini juga mencatat sejarah dinasti yang memerintah di hilir.

Hikayat Cerita

Naskah yang berisi sejarah dan perjalanan Raja Hulu dan alasan-alasan utama dalam kebijakan-kebijakan pemerintahannya dalam mengambil keputusan dan pertimbangan-pertimbangan lainnya yang bersangkutan dengan tata kelola pemerintahan.

Sejarah Tuanku Batu Badan

Naskah ini dimiliki oleh Zainal Arifin Pasariburaja yang kemudian dibahas oleh Jane Drakard, berisi mengenai segala sesuatu tentang Kesultanan Barus Hilir yang sering juga disebut orang sebagai Negeri Fansur.

Naskah ini juag menjadi pusat data dan dokumentasi ibukota kesultanan Barus Hilir yang sekarang ini sudah mulai menghilang dari permukaan bumi, baik yang disebabkan oleh alam maupun tangan-tangan manusia. Juga terdapat sejarahawal terbentuknya pemerintahan Raja Berempat atau Raja Na Opat di Negeri Silindung.

Di dalamnya terdapat banyak sejarah mengenai hubungan pertalian adat dan budaya antara Barus dan Minang dan bahkan beberapa raja-raja hilir memerintah sampai ke negeri Tarusan di Tanah Minang seperti Sultan Main Alam Pasaribu mengikuti jejak leluhurnya Sultan Ibrahimsyah Pasaribu.

Hikayat Keturunan Raja di Kuria Ilir

Ditulis di Barus pada tanggal 26 Februari 1896 oleh Sultan Alam Syah untuk kepentingan Belanda. Naskah ini pernah dikutip oleh K.A. James dalam sebuah bukunya di tahun 1902.

Hikayat Raja Tuktung

Naskah ini disimpan dalam koleksi di Perpustakaan Universitas Leiden dengan nomor Co. Or 3205 pt. B. Naskah ini merupakan kunci penting dalam penelusuran beberapa sejarah Batak Toba, khususnya Negeri Rambe. Kemasyhuran Raja Tuktung dari Tukka tidak saja di seantero Kesultanan Barus tapi juga di hampir seluruh tanah Batak. Nama Raja Tuktung banyak dikutip di beberapa naskah maupun pustaha-pustaha kuno Batak namun secara tidak lengkap.

Panjangnya 42 halaman berisi syair-syair indah menggunakan Arab Melayu alias Jawi. Naskah ini sangat jelas dalam menjelaskan kronologi sejarah permulaan Barus dan hubunganya dengan Tanah Batak pada umumnya serta hubungan erat keduanya dengan Aceh. Juga terdapat dokumentasi insiden peperangan antara Aceh dan Barus yang berakibat kepada kematian Sultan Ibrahimsyah Pasaribu.

Penulisan Sejarah

Sejarah Islam di Tanah Dairi, Sampai Abad 17 M



Tanah Dairi yang dimaksud disini adalah semua wilayah di Sumatera Utara yang memakai bahasa Dairi dan variannya, seperti Pakpak, Simsim dan Kelasan. Daerah berbahasa Dairi juga mencakup beberapa desa di daerah Singkil, Aceh.

Orang-orang Dairi merupakan masyarakat yang menerima Islam dari begitu banyak sumber. Tidak seperti Toba yang diyakini dimasuki dari satu channel seperti Barus. Orang Dairi menerima Islam melalui pesisir Barus, pesisir Aceh seperti Singkil, dari Gayo Alas maupun dari pesisir Timur, yakni melalui orang-orang Karo yang sudah Islam dan berbaur dengan penduduk Melayu.

Sebagai masyarakat agraria yang menjadi produsen kemenyan, orang Dairi merupakah masyatakat yang paling penting paling tidak dalam percaturan ekonomi, budaya dan politik di kawasan tersebut.

Islam diyakini telah masuk ke kawasan orang-orang Dairi dari di abad-abad sebelum abad ke-10 M melalui pantai Singkil yang berhubungan langsung dengan Dairi melalui dua hulu sungai, Simpang Kanan dan Kiri. Di Singkil, diyakini orang-orang Dairi Islam telah menjadi penguasa dalam Kesultanan Singkil saat itu yang sampai abad ke 18 M masih tersisa dengan masih berdirinya Kesultanan Trumon dengan sultannya yang bergelar Teuku Raja Batak.

Selain dari pengaruh budaya dan peradaban Aceh, orang-orang Dairi diyakini juga banyak yang menghayati Islam melalui pembangunan pendidikan dan kebudayaan di Kesultanan Barus, yang wilayahnya mencakup hampir seluruh daerah-daerah yang didiami oleh orang-orang Dairi.

Dikatakan dalam sejarah, bahwa orang-orang Dairi, selain menjadi tulang punggung ekonomi, juga merupakan faktor penentu dalam keberlangsungan berdirinya kesultanan di Barus. Hal itu nampak dalam naskah-naskah kuno mengenai sejarah raja-raja Barus.

Marga Pardosi yang merupakan turunan marga Pohan, marga para raja di Barus, juga diakui sebagai marga utama di masyarakat Dairi, walaupun Pardosi diakui juga di budaya Toba sebagai marga Toba. Saling keterikatan dalam marga tersebut merupakan bukti utama dalam kerjasama peradaban antara orang Toba dan Dairi dalam pengembangan peradaban Islam di Tanah Batak.

Islam telah menjadi agama penting di Barus sejak abad ke-8 M, hal itu dibuktikan secara kuat dengan terdapatnya peninggalan sejarah seperti kuburan para sufi dan ulama di kompleks Makam Mahligai di Barus yang mengacu pada zaman ke-8 M. Orang-orang Dairi saat itu yang menjadi produsen kemeyan diyakini telah banyak menganut agama ini dan mengembangkannya di tempat masing-masing, yakni pegunungan yang menjadi lahan tumbuhnya kemenyan. Dua daerah penting yang dihuni oleh orang-orang Dairi seperti Barus dan Singkil merupakan pusat-pusat pengajaran Islam yang tertua di Nusantara. Masa-masa kegemilangan Abdul Rauf Singkil dan Hamzah Fansuri, pastinya juga dirasakan oleh orang-orang Dairi.

Saat konstelasi politik berubah-ubah, yakni tumbuh hilangnya pusat-pusat kekuasaan di pesisi, mulai dari Aceh, Barus dan orang-orang Arab, Tanah Dairi termasuk wilayah tempat mengasingkan diri bagi para Sultan Barus untuk mencari perlindungan.

Raja Negeri Dairi Diangkat Sultan Barus

Dalam Sejarah Tuanku Batu Badan atau Tambo Barus Hilir, sebuah manuskrip sejarah bertuliskan Arab dan berbahasa melayu yang masih disimpan oleh Zainal Arifin Pasariburaja di Barus, seorang keturunan Bangsawan Kesultanan Dinasti Pasaribu, atau Tuanku Di Hilir, manuskrip tersebut telah beredar banyak dalam tesis seorang peneliti dari Australia, disebutkan bahwa raja-raja Dairi diangkat dan diresmikan oleh Sultan Barus.

Hal itu dijelaskan saat Sultan Marah Laut Pasaribu (hidup di era Tuanku Maharaja Bongsu Pardosi, 1054 H atau Tuanku Mudik/Dihulu) membentuk Lembaga Jonggi Manoar di kampung nenek moyangnya Sianjur Mula-mula yang dihuni oleh mayoritas marga Limbong.

Lembaga Jonggi Manoar merupakan lembaga politik yang menghubungkan dua pusat politik antara Kesultanan Barus dan pedalaman Batak. Para raja-raja Batak menggunakan lembaga ini sebagai pemersatu di antara mereka yang saling bertikai dan sebagai persetujuan atas berlangsungnya roda perekonomian dari jalur-jalur yang telah ditetapkan ke Barus.

Dikisahkan Bahwa sepeninggalan Sultan Adil Pasaribu, kesultanan Barus diserahterimakan kepada putranya Tuanku Sultan Marah Laut. Disaksikan oleh semua penduduk kerajaan. Di Barus sendiri terdapat dualisme pemerintahan. Di satu pihak berdiri Dinasti Pardosi (Turunan Marga Pohan) dari Sumba yang dikenal dengan Tuanku Di Hulu atau Tuanku Mudik dan yang satu Dinasti Pasaribu dari Tatea Bulan yang dikenal Tuanku Di Hilir, penerus Kerajaan Hatorusan.

Diceritakan bahwa Sultan melakukan perjalanan ke Toba. Tidak diceritakan sebab-sebabnya. Tapi diyakini merupakan bagian dari memperluas dan mengambil dukungan dari pihak Toba yang menjadi nenek moyang Pasaribu untuk menghadapi Dinasti Pardosi. Kubu Pasaribu sendiri merupakan keturunan Borbor/TateaBulan yang sejak dahulu menghuni Luat Sagala Limbong.di Toba. Persaingan dengan kubu Dinasti Pardosi sangat intens. Sehingga perjalanan ini merupakan akibat dari konstelasi politik saat itu.

Perjalanan dilakukan melalui sebuah daerah yang bernama Doli (Dolok=Dolok Sanggul?). Di sana dia bermukim dan sempat berkeluarga dan mendapatkan anak laki-laki. Perjalanan diteruskan ke tujuannya yakni Sagala Limbong.

Di sana dia bermukim dan mendapat tempat dari penduduk setempat yang masih kerabatnya.

"Maka dengan takdir Allah SWT sekalian (orang-orang) Batak itupun takluklah kepadanya karena tiada dapat melawannya karena Tuanku Sultan Marah Laut terlalu gagahnya. Maka (masyarakat) Batak pun sujudlah menyembah ke bawah duli yang maha mulia serta diangkatnya jadi akan rajanya di sana." Demikian bunyi sejarahnya.

Setelah Sultan Marah Laut memerintah di Sagala Limbong dalam waktu yang lama, dia berpikir untuk kembali ke Barus.

Maka masyarakat dan petinggi kerajaan dikumpulkan mendengar titah sang raja. Sultan Marah Laut kemudian berdiri dan mengumumkan kepergiannya.

"Ya Tuan-tuan sekalian. Dengarkan hamba berkata. Adapun hamba ini negeri hamba sudah lama hamba tinggalkan dan sekarang hamba meminta izin pada tuan-tuan sekaliannya. Hamba hendak berjalan dahulu pulang ke negeri Barus karena hamba sudah lama meninggal(kan) saudara saya."

Namun keinginan tersebut ditolak oleh warga yang menginginkan kehadiran seorang pemimpin yang mempunyai kewibawaan. Maka diambilkan jalan keluar melalui sebuah kompromi. Bahwa akan diangkat sebuah perwakilan Sultan di Sagala Limbong. Dan apabila melakukan sebuah upacara yang membutuhkan kehadiran Sultan maka hal itu dapat diwakilkan dalam pengiriman persembahan kepada pihak Sultan di Barus.

"Sekarangpun hamba perbuatlah akan wakil saya di sini sementaranya hamba belum balik, kiranya jikalau tidak, hamba berbalik kemari melainkan turut oleh tuan hamba ke negeri Barus. Jikalau hamba tidak ada melainkan anak cucu hamba banyak di Barus ke sanalah tuan-tuan menghantar 38 persembahan."

Sultan kemudian membentuk dua lembaga perwakilan di Sagala Limbong. Pertama bernama Raja Jonggi Menawar (disebut juga Manoar yang berasal dari kata Munawwar dari bahasa Arab, sebuah nama yang lazim digunakan yang berarti yang menyinari atau yang menerangi). Lembaga kedua bernama Raja Bunga-bunga. Melalui kedua raja inilah, Sultan memerintah daerah Sagala Limbong dan penghantaran persembahan ke Barus dilakukan.

Perjanjian yang dibuat antar pemuka adat saat itu bahwa

"Dalam satu tahun melainkan satu kali raja kedua itu mengantar persembahan kuda satu akan tetapi apabila raja kedua itu membawa kuda persembahan melainkan merurut membawa kambing jantan gadang seekor pemberi kepada Tuanku Mudik, karena kami sudah sebuah kota." Demikian bunyi perjanjian tersebut. Tuanku Mudik adalah Sultan-sultan Pardosi yang memerintah di hulu. Perjanjian tersebut selain bernilai adat tapi juga bernilai politik karena hal tersebut mengikat kedaulatan tiap-tiap huta.

Maka perjalanan pulang Sultan beserta para pejabat dan hulubalang kerajaan dilakukan melalui sebuah negeri yang bernama Lintong. Raja Lintong pun menerima perjanjian yang dibuat di Sagala Limbong tersebut.

Acara pemberian persembahan tersebut dilakukan setiap tahun. Dimulai dengan datangnya Raja Jonggi Manoar melalui negeri Lintong. Negeri Lintong juga akan ikut memberikan persembahan dan perwakilannya ikut mengantar. Begitu juga daerah-daerah yang dilalui yang menandatangani perjanjian persahabatan dengan Barus.

Diantaranya adalah negeri Sihotang, Negeri Siringo-ringo, Negeri Manullang, Negeri Rambe (Pakkat).

Beberapa daerah yang rajanya diangkat oleh Sultan di Barus juga melakukan persembahan. Diantaranya Negeri Panggarutan, ‘Negeri Dairi’, Negeri Tombah, Negeri Tukka, Negeri Gomburan. Semua raja-raja yang disebut terakhir ini diangkat atas persetujuan Kesultanan Barus.

Kemudian semua persembahan tersebut dikumpulkan di istana Raja Tuktung. Dan dalam adatnya Raja Jonggi Manoar akan membeli persalin kain kepada Raja Tuktung. Raja Tuktung adalah kerabat Kesultanan Barus yang istananya berada dalam perbatasan wilayah Barus. Kedudukannya sangat dihormati selain sebagai kerabat Kesultanan tapi juga perjalanan menuju Barus harus melalui daerah kekuasaannya.

Setelah memberikan penghormatan kepada Raja Tuktung, maka perjalanan ke wilayah Kesultanan Baruspun dilakukan melalui Pangarabuan terus menuju istana Sultan.

Sultan Barus dan Dairi Dalam Politik

Selain itu, dalam sejarah juga diketahui bahwa orang-orang Dairi terlibat secara menyeluruh dalam mempertahankan Kesultanan Barus seperti terlihat pada tahun 1668. Hal itu tampak dalam laporan Melman, seorang Belanda yang ditugaskan mengamati peta politik Barus yang menggambarkan bahwa konstelasi politik Batak, khususunya antara kedua Dinasti yang memerintah yakni marga Pohan di Hulu dan Sultan Hilir, dikatakan bahwa saudagar-saudagar Batak berperan sebagai pengumpul komoditas-komoditas dari pegunungan sekitar Barus, seperti Pakkat, Dolok Sanggul, Dairi dan lain-lain menjadi pendukung Sultan Hulu, sementara Sultan Hilir didukung oleh saudagar Batak lainnya yang menjadi pengumpul di wilayah-wilayah antara Barus dan Air Bangis. Dari areal ini, kamper dan benzoin di dapat di Sibuluan, Batang Toru, Batu Mundam, Tabujang, Natal dan Batahan. [Melman to Pits (1669)].

Dari Barus, orang-orang Dairi yang banyak mengamalkan Islam secara kaffah adalah Sigalingging, Pardosi, Gajah, Hasugian, Malau, Nahampun, Tambunan, Tinambunan, marga Parna serta variannya dan marga-marga Dairi lainnya. Sementara itu, Marga Berutu, Munte dan lain-lain yang muslim diyakini lebih banyak dipengaruhi dari Singkil.

Barus, Dairi dan Batak Dipecah Belah

Dalam dokumentasi Belanda pada tahun 1694, saat mereka mulai sadar bahwa mereka tidak akan bisa bertahan di Barus, di tengah arus kompetisi ekonomi yang mulai ketat, tanpa dukungan dan kemurahan hati Sultan di Hulu. Hal itu dipahami oleh Belanda, karena dalam sebuah langkah brutal untuk melenyapkan Sultan di Hulu oleh Belanda, telah mengalami kegagalan karena dukungan sebuah pasukan ekspedisi militer yang terdiri dari kepala-kepala huta orang-orang Dairi yang setia kepada Sultan Hulu pada tahun 1693, setahun sebelum pengakuan Kompeni tersebut.

Setelah supremasi dan otoritas Sultan Di Hulu kembali ke semula, Sultan Minuassa, Sultan di Hulu yang memerintah saat itu, dilaporkan bermusafir ke Dairi untuk pengasingan sementara di pegunungan di belakang Singkil.

Dukungan yang diberikan oleh para raja-raja huta Dairi terhadap Sultan Di Hulu mengejutkan orang-orang Belanda, padahal sebelumnya telah ada perjanjian antara Kompeni dengan orang-orang yang diklaimnya sebagai tetua Dairi untuk memindahkan loyalitas mereka dari Sultan Hulu ke Hilir.

Dalam pengasingan Sultan, pihak Belanda yang tidak pernah putus asa untuk merusak tatanan hidup orang Batak di Kesultanan Barus mulai mendeklarasikan Sultan di Hilir menjadi Raja Barus. Untuk mendukung kebijakan mereka, orang-orang Dairi mulai didekati untuk menghianati kembali Sultan mereka. Hal ini tampaknya mendapat keberhasilan.

Pada tahun 1698, Sultan Minuassa yang mengasingkan diri sementara di Dairi kembali ke Barus, namun dia mendapati kekuasaanya telah hilang dan lenyap. Belanda bersikukuh bahwa dia bagi mereka hanyalah bara-antara bagi orang Dairi. Belanda berhasil mengangkat Sultan Hilir sebagai pemerintah boneka yang dapat disetir oleh perusahaan VOC.

Sultan Minuassa tidak menerima kecurangan yang dialaminya. Pada tahun 1706, dia berhasil menggalang kekuatan, khususnya dari semarganya di Dairi dan Singkel, untuk mengembalikan kehormatan dan harga diri sebagai Sultan penguasa Barus. Orang-orang Batak di pegunungan sekitar Barus juga mendukungnya. Usaha ini berhasil mengembalikan tahta dan istananya. Pada tahun 1709, paman Sultan Minuassa yang bernama Megat Sukka atau Sultan Bongsu Pardosi berhail melakukan gempuran mematikan terhadap lawan-lawannya, atas nama kedaulatan dan tahta Sultan Hulu, dan berhasil menguasai seluruh Barus. Usaha ini mencapai kemenangan yang fantastis sejak sebelumnya pihak Sultan di Hulu berhasil melobbi pihak Kerajaan Aceh untuk mengirimkan pasukan pendukung.

Namun pihak Sultan di Hulu tidak ingin memerintah secara egois di Barus. Kedaulatan Sultan di Hilir juga dikembalikan. Sekali lagi kombinasi Hulu dan Hilir dalam memerintah Barus seperti dahulu kala berhasil dikembalikan. Sultan Hilir dalam suratnya kepada Kompeni di Padang mengatakan bahwa Barus telah kembali ke sistem pemerintahan semula, yakni pemerintahan yang dikuasasi oleh dua dinasti. [Lihat surat Raja Barus (hilir) kepada VOC (1709), VOC 1777].

Orang-orang Batak Bersatu

Pada 1736-1740 merupakan tahun yang sangat krusial bagi bangsa Batak. Pada saat ini orang-orang Dairi membulatkan tekadnya untuk mendukung tahta dan kedaulatan Sultan Di Hulu yang mencakup semua wilayah Dairi, Sionom Hudon, Pakpak, Kelasan dan Simsim.

Demikian pula halnya dengan raja-raja Batak dari pedalaman. Para raja-raja Batak ini berkenan pula mengirimkan pasukannya ke Barus untuk menghalau teror yang dilakukan oleh kompeni Belanda.

Penduduk Sorkam dan Korlang, berhasil dimobilisasi oleh Raja Simorang dari Silindung untuk bersatu dan bersama-sama mengusir Kompeni atau VOC. Beberapa kali perang terjadi antara kedua belah pihak.

Sultan Minuassa dan Islam di Dairi

Peran Sultan Minuassa (Pardosi), yang bernama asli Sultan Munawwar Syah ini, tentunya tidak hanya pada dunia politik, diyakini melalui tangannyalah orang-orang Dairi di pedalaman banyak yang mengamalkan Islam secara kaffah. Sehingga sampai sekarang, orang-orang Dairi di pedalaman merupakan para muslim yang menganut Islam dengan gaya suluk dan sufi yang paling unik. Sistem suluk dan sufisme tersebut merupakan peninggalan dari Sultan Minuassa saat berada dalam pengasingan yang diyakini bertujuan untuk meningkatkan kadar spiritualnya.

Orang-orang Dairi banyak yang menjadi ahli suluk, sufi dan pengembang ajaran Islam di Aceh, khususnya bagian selatan seperti Singkil, Tapus, Manduamas, Alas dan Gayo. Selain itu, emansipasi pendidikan juga membuat banyak orang Dairi yang menjadi ulama dan panglima pada kerajaan-kerajaan di sekitarnya.

Pada pemerintahan Sisingamangaraja X, 1820, seorang panglima muslim bernama Syarif Tanjung dipercaya oleh Sisingamangaraja X untuk mengamankan Dairi. Benteng ini merupakan sistem pertahanan Sisingamangaraja X untuk mengamankan Salak di Dairi sebagai ibukota kedua pemerintahan Sisingamangaraja X. Marga-marga Tanjung yang berada di Sidikkalang diyakini berhubungan dengan panglima yang satu ini.

Sementara itu paska mundurnya Barus dan menjadi jajahan Belanda, Barus dipecah-pecah menjadi wilayah yang kecil-kecil, salah satunya adalah Barus Hulu yang meliputi beberapa wilayah; Negeri Rambe, Negeri Simanullang, Negeri Pusuk, Negeri Marbun, Negeri Tukka Dolok, Negeri Siambaton, Negeri Tukka Holbung Sijungkang dan Negeri Sionomhudon (Parlilitan & Tarabintang). Sebagian wilayah tersebut dihuni oleh orang Dairi dan berbahasa Dairi, khususnya Sionomhudon (Siennemkodin).

Wilayah ini, dalam administrasi kolonial Belanda bernama Onderafdeling Boven Barus, Kecamatan Barus Hulu, dengan asisten Demang berkedudukan di Pakkat. (Drs Gens G Malau, Buku Lopian Boru Sinambela hal 206-217, Yayasan Taotoba Nusabudaya, Jakarta 1997).

Sejarah Dairi

Friday, March 16, 2007

Malaysia Jajaki Investasi Pembangkit Listrik Senilai 75 Juta Dolar AS di Pakpak Bharat

Mar 16, 2007 at 09:35 AM
Medan (SIB)

Investor asal Malaysia, System Protection and Maintenance (SPM) SDN BHD, tertarik menjajaki investasi Power Plant (pembangkit listrik) PLTA Lau Une di Desa Kecupak I, Kecamatan Pergeteng-geteng Sengkut, Kabupaten Pakpak Bharat berkapasitas 25-50 MW dan diperkirakan investasi mencapai 75 juta dolar AS.

Menurut Kabid humas Pimpinan Drs ML Tobing, Kamis (15/3) seusai mengikuti pertemuan investor Malaysia dari SPM SDN BHD Ir Mohd Zaini Bin Abdullah (Managing Director) dengan Gubsu Drs Rudolf M Pardede di kediaman Gubsu Jalan Selamat Riyadi tampak serius dan tertarik melakukan investasi di Pakpak Bharat.

“Kami tertarik investasi pembangkit listrik di Pakpak Bharat. Karenanya, mulai minggu depan, kami akan survei lapangan,” kata Managing Director Group SPM SDN BDH, Mohammad Zaini Bin Abdullah didampingi perwakilan SPM SDN BDH di Medan Iwan Subrata usai pertemuan.

PLTA Lae Une ini berupa aliran Sungai Lae Ordi yang berbentuk air terjun dengan ketinggian 25 meter, serta memiliki debit air 250 liter per detik. Zaini mengaku, investasi pihaknya di PLTA Lae Une ini diperkirakan memakan biaya Rp675 miliar atau setara 75 juta dolar AS (kurs satu dolar Rp9.000).

Pembangunan PLTA Lae Une ini, menurut Zaini sudah lama dilirik pihaknya. Namun baru sekarang bisa dijajaki. “Mudah-mudahan kerjasama ini tidak ada masalah. Karena kami sangat serius membangun Power Plant di Pakpak Bharat ini,” tegas Zaini.

Lokasi PLTA Lae Une di Desa Kecupak I ini kira-kira berjarak 141 kilometer dari Medan (ibu kota Provinsi Sumut), atau lebih kurang delapan kilometer dari Salak, dan dua kilometer dari Kecamatan Kecupak I.

Pada pertemuan tersebut Gubsu Drs Rudolf M Pardede didampingi Bupati Pakpak Bharat Ir Herry Muger Berutu, Kepala Bappedasu Drs RE Nainggolan MM, Kadis Pertambangan Ir Washington Tambunan, Kaban Inprom Drs Gandhi D Tambunan menyebutkan, akan memberikan kemudahan perijinan bagi SPM SDN BHD untuk pembangunan PLTA Lae Une.

“Pemprov Sumut akan memberikan kemudahan perijinan, asal pihak Malaysia serius menanamkan investasinya di daerah ini,” ujar Gubsu.

Sementara itu, Kabid Humas Pimpinan Drs ML Tobing juga mengatakan, PLTA Lae Une ini untuk keperluan listrik pedesaan. Karenanya, tawaran investasi yang diajukan SPM SDN BHD Malaysia akan sangat membantu mengatasi krisis listrik di Provinsi Sumut, khususnya di Kabupaten Pakpak Bharat dan mereka akan melakukan partner dengan pengusaja lokal.

Untuk itu, kata Tobing, pihak investor Malaysia ini akan melakukan peninjauan langsung dan melakukan pertemuan dengan pihak terkait di Pakpak Bharat. Bahkan Bupati Pakpak Bharat menyatakan kesiapan pihaknya untuk mewujudkan rencana pembangunan PLTA tersebut.

Malaysia Bangun Pakpak

Pnitia Pesta L Bolon Pomparan Rj Silahisabungan se-Indonesia ke-XXVI Thn 2007 di Silalahi Terbentuk

Mar 11, 2007 at 08:45 AM

Sibolga (SIB)

Hasil rapat pomparan Ompui Tambun Raja, Sabtu (3/3) di rumah Bolon lokasi Tugu Raja Silalahisabungan di huta Silalahi Kec Silalahi Kab.Dairi, akhirnya seluruh peserta rapat sepakat membentuk panitia pesta Luhutan Bolon Pomparan Raja Silalahisabungan se-Indonesia ke- XXVI yang akan dilaksanakan dari tanggal 23 s/d 25 Nopember 2007 di Tugu Silahisabungan Huta Silalahi Kab.Dairi.

Untuk mensukseskan acara tersebut, telah dibentuk susunan kepanitiaan terdiri dari Penasehat St H Tambunan, Ir Washington Tambunan, Kol. (Purn) H Chairullah Tambunan, Drs Rudolf M Pardede, RO Tambunan SH, Drs Amri Tambunan dan B Tambunan SH.

Sedangkan untuk panitia pelaksana, Ketua Umum St Prins Walles Tambunan, Ketua I Risman Tambunan, Ketua II P Tambunan, Ketua III H Donald Tambunan, Ketua IV Marisi Tambunan, Ketua V Op.Daniel Tambunan, Sekretaris Umum Drs Abudiman Tambunan, Sekretaris I Sabungan Tambunan, Bendahara DS Simanjuntak, Wakil Bendahara Ny Simamora Br Tambunan, dan dibantu oleh seksi-seksi dan kordinator disetiap daerah yang ada di Sumatera dan Jawa.

Demikian Ketua Umum Luhutan Bolon Pomparan Raja Silahisabungan se-Indonesia ke-XXVI , St Prins Walles Tambunan dalam relisnya kepada wartawan di Sibolga, Senin (5/3).

Penasehat panitia pesta St H Tambunan menjelaskan, selain berhasil membentuk kepanitiaan, seluruh peserta rapat juga menyepakati bahwa acara pesta akan dirangkai dengan peletakan batu pertama pembangunan Wisma Tambun Raja di Silalahi.

Dan jika memungkinkan lagi, kata St H Tambunan, pesta Luhutan Bolon akan melaksanakan pemindahan tulang belulang atau saring-saring Ompui Tambun Raja yang saat ini masih berada di Hutanitulang Nami di Sibisa dan nantinya akan disatukan dengan pemakaman tugu Bapaknya Raja Silahisabungan. Saring-saring saudara-saudaranya sudah lebih dahulu disatukan pada Batu Napir tersebut yakni Loho Raja, Tungkir Raja, Sondi Raja, Butar-Butar, Dabariba Raja , Debang Raja, dan Batu Raja, paparnya.

Ketum panitia pesta, St Prins Walles Tambunan mengutarakan, mengingat baru pertama ini Pomparan Tambun Raja sebagai Suhut pesta Silahisabungan se-Indonesia dan dirangkai dengan acara yang maknanya untuk menghimpun Pomparan Silahisabungan agar sehati, sepikir sesuai dengan pesan Sagu-sagu Marlangan. Diharapkan supaya setiap pomparan yang merasa keturunan Ompui Raja Silahisabungan dapat memberikan perhatiannya agar pesta yang mempunyai nilai plus tahun ini dapat berjalan sukses.” Pomparan yang merasa keturunan Ompui Raja Silahisabungan kiranya turut mensukseskan acara pesta Luhutan Bolon Pomparan Silahisabungan se-Indonesia. Sekretariat panitia berlokasi Jalan A.Yani nomor 69 Sidikalang Telp.(0627) 23913 dan HP 081361619080”, ujarnya.

Pestabolon Silahisabungan

Blog Archive