Saturday, March 24, 2007

Sejarah Dairi

 

Sejarah Islam di Tanah Dairi, Sampai Abad 17 M



Tanah Dairi yang dimaksud disini adalah semua wilayah di Sumatera Utara yang memakai bahasa Dairi dan variannya, seperti Pakpak, Simsim dan Kelasan. Daerah berbahasa Dairi juga mencakup beberapa desa di daerah Singkil, Aceh.

Orang-orang Dairi merupakan masyarakat yang menerima Islam dari begitu banyak sumber. Tidak seperti Toba yang diyakini dimasuki dari satu channel seperti Barus. Orang Dairi menerima Islam melalui pesisir Barus, pesisir Aceh seperti Singkil, dari Gayo Alas maupun dari pesisir Timur, yakni melalui orang-orang Karo yang sudah Islam dan berbaur dengan penduduk Melayu.

Sebagai masyarakat agraria yang menjadi produsen kemenyan, orang Dairi merupakah masyatakat yang paling penting paling tidak dalam percaturan ekonomi, budaya dan politik di kawasan tersebut.

Islam diyakini telah masuk ke kawasan orang-orang Dairi dari di abad-abad sebelum abad ke-10 M melalui pantai Singkil yang berhubungan langsung dengan Dairi melalui dua hulu sungai, Simpang Kanan dan Kiri. Di Singkil, diyakini orang-orang Dairi Islam telah menjadi penguasa dalam Kesultanan Singkil saat itu yang sampai abad ke 18 M masih tersisa dengan masih berdirinya Kesultanan Trumon dengan sultannya yang bergelar Teuku Raja Batak.

Selain dari pengaruh budaya dan peradaban Aceh, orang-orang Dairi diyakini juga banyak yang menghayati Islam melalui pembangunan pendidikan dan kebudayaan di Kesultanan Barus, yang wilayahnya mencakup hampir seluruh daerah-daerah yang didiami oleh orang-orang Dairi.

Dikatakan dalam sejarah, bahwa orang-orang Dairi, selain menjadi tulang punggung ekonomi, juga merupakan faktor penentu dalam keberlangsungan berdirinya kesultanan di Barus. Hal itu nampak dalam naskah-naskah kuno mengenai sejarah raja-raja Barus.

Marga Pardosi yang merupakan turunan marga Pohan, marga para raja di Barus, juga diakui sebagai marga utama di masyarakat Dairi, walaupun Pardosi diakui juga di budaya Toba sebagai marga Toba. Saling keterikatan dalam marga tersebut merupakan bukti utama dalam kerjasama peradaban antara orang Toba dan Dairi dalam pengembangan peradaban Islam di Tanah Batak.

Islam telah menjadi agama penting di Barus sejak abad ke-8 M, hal itu dibuktikan secara kuat dengan terdapatnya peninggalan sejarah seperti kuburan para sufi dan ulama di kompleks Makam Mahligai di Barus yang mengacu pada zaman ke-8 M. Orang-orang Dairi saat itu yang menjadi produsen kemeyan diyakini telah banyak menganut agama ini dan mengembangkannya di tempat masing-masing, yakni pegunungan yang menjadi lahan tumbuhnya kemenyan. Dua daerah penting yang dihuni oleh orang-orang Dairi seperti Barus dan Singkil merupakan pusat-pusat pengajaran Islam yang tertua di Nusantara. Masa-masa kegemilangan Abdul Rauf Singkil dan Hamzah Fansuri, pastinya juga dirasakan oleh orang-orang Dairi.

Saat konstelasi politik berubah-ubah, yakni tumbuh hilangnya pusat-pusat kekuasaan di pesisi, mulai dari Aceh, Barus dan orang-orang Arab, Tanah Dairi termasuk wilayah tempat mengasingkan diri bagi para Sultan Barus untuk mencari perlindungan.

Raja Negeri Dairi Diangkat Sultan Barus

Dalam Sejarah Tuanku Batu Badan atau Tambo Barus Hilir, sebuah manuskrip sejarah bertuliskan Arab dan berbahasa melayu yang masih disimpan oleh Zainal Arifin Pasariburaja di Barus, seorang keturunan Bangsawan Kesultanan Dinasti Pasaribu, atau Tuanku Di Hilir, manuskrip tersebut telah beredar banyak dalam tesis seorang peneliti dari Australia, disebutkan bahwa raja-raja Dairi diangkat dan diresmikan oleh Sultan Barus.

Hal itu dijelaskan saat Sultan Marah Laut Pasaribu (hidup di era Tuanku Maharaja Bongsu Pardosi, 1054 H atau Tuanku Mudik/Dihulu) membentuk Lembaga Jonggi Manoar di kampung nenek moyangnya Sianjur Mula-mula yang dihuni oleh mayoritas marga Limbong.

Lembaga Jonggi Manoar merupakan lembaga politik yang menghubungkan dua pusat politik antara Kesultanan Barus dan pedalaman Batak. Para raja-raja Batak menggunakan lembaga ini sebagai pemersatu di antara mereka yang saling bertikai dan sebagai persetujuan atas berlangsungnya roda perekonomian dari jalur-jalur yang telah ditetapkan ke Barus.

Dikisahkan Bahwa sepeninggalan Sultan Adil Pasaribu, kesultanan Barus diserahterimakan kepada putranya Tuanku Sultan Marah Laut. Disaksikan oleh semua penduduk kerajaan. Di Barus sendiri terdapat dualisme pemerintahan. Di satu pihak berdiri Dinasti Pardosi (Turunan Marga Pohan) dari Sumba yang dikenal dengan Tuanku Di Hulu atau Tuanku Mudik dan yang satu Dinasti Pasaribu dari Tatea Bulan yang dikenal Tuanku Di Hilir, penerus Kerajaan Hatorusan.

Diceritakan bahwa Sultan melakukan perjalanan ke Toba. Tidak diceritakan sebab-sebabnya. Tapi diyakini merupakan bagian dari memperluas dan mengambil dukungan dari pihak Toba yang menjadi nenek moyang Pasaribu untuk menghadapi Dinasti Pardosi. Kubu Pasaribu sendiri merupakan keturunan Borbor/TateaBulan yang sejak dahulu menghuni Luat Sagala Limbong.di Toba. Persaingan dengan kubu Dinasti Pardosi sangat intens. Sehingga perjalanan ini merupakan akibat dari konstelasi politik saat itu.

Perjalanan dilakukan melalui sebuah daerah yang bernama Doli (Dolok=Dolok Sanggul?). Di sana dia bermukim dan sempat berkeluarga dan mendapatkan anak laki-laki. Perjalanan diteruskan ke tujuannya yakni Sagala Limbong.

Di sana dia bermukim dan mendapat tempat dari penduduk setempat yang masih kerabatnya.

"Maka dengan takdir Allah SWT sekalian (orang-orang) Batak itupun takluklah kepadanya karena tiada dapat melawannya karena Tuanku Sultan Marah Laut terlalu gagahnya. Maka (masyarakat) Batak pun sujudlah menyembah ke bawah duli yang maha mulia serta diangkatnya jadi akan rajanya di sana." Demikian bunyi sejarahnya.

Setelah Sultan Marah Laut memerintah di Sagala Limbong dalam waktu yang lama, dia berpikir untuk kembali ke Barus.

Maka masyarakat dan petinggi kerajaan dikumpulkan mendengar titah sang raja. Sultan Marah Laut kemudian berdiri dan mengumumkan kepergiannya.

"Ya Tuan-tuan sekalian. Dengarkan hamba berkata. Adapun hamba ini negeri hamba sudah lama hamba tinggalkan dan sekarang hamba meminta izin pada tuan-tuan sekaliannya. Hamba hendak berjalan dahulu pulang ke negeri Barus karena hamba sudah lama meninggal(kan) saudara saya."

Namun keinginan tersebut ditolak oleh warga yang menginginkan kehadiran seorang pemimpin yang mempunyai kewibawaan. Maka diambilkan jalan keluar melalui sebuah kompromi. Bahwa akan diangkat sebuah perwakilan Sultan di Sagala Limbong. Dan apabila melakukan sebuah upacara yang membutuhkan kehadiran Sultan maka hal itu dapat diwakilkan dalam pengiriman persembahan kepada pihak Sultan di Barus.

"Sekarangpun hamba perbuatlah akan wakil saya di sini sementaranya hamba belum balik, kiranya jikalau tidak, hamba berbalik kemari melainkan turut oleh tuan hamba ke negeri Barus. Jikalau hamba tidak ada melainkan anak cucu hamba banyak di Barus ke sanalah tuan-tuan menghantar 38 persembahan."

Sultan kemudian membentuk dua lembaga perwakilan di Sagala Limbong. Pertama bernama Raja Jonggi Menawar (disebut juga Manoar yang berasal dari kata Munawwar dari bahasa Arab, sebuah nama yang lazim digunakan yang berarti yang menyinari atau yang menerangi). Lembaga kedua bernama Raja Bunga-bunga. Melalui kedua raja inilah, Sultan memerintah daerah Sagala Limbong dan penghantaran persembahan ke Barus dilakukan.

Perjanjian yang dibuat antar pemuka adat saat itu bahwa

"Dalam satu tahun melainkan satu kali raja kedua itu mengantar persembahan kuda satu akan tetapi apabila raja kedua itu membawa kuda persembahan melainkan merurut membawa kambing jantan gadang seekor pemberi kepada Tuanku Mudik, karena kami sudah sebuah kota." Demikian bunyi perjanjian tersebut. Tuanku Mudik adalah Sultan-sultan Pardosi yang memerintah di hulu. Perjanjian tersebut selain bernilai adat tapi juga bernilai politik karena hal tersebut mengikat kedaulatan tiap-tiap huta.

Maka perjalanan pulang Sultan beserta para pejabat dan hulubalang kerajaan dilakukan melalui sebuah negeri yang bernama Lintong. Raja Lintong pun menerima perjanjian yang dibuat di Sagala Limbong tersebut.

Acara pemberian persembahan tersebut dilakukan setiap tahun. Dimulai dengan datangnya Raja Jonggi Manoar melalui negeri Lintong. Negeri Lintong juga akan ikut memberikan persembahan dan perwakilannya ikut mengantar. Begitu juga daerah-daerah yang dilalui yang menandatangani perjanjian persahabatan dengan Barus.

Diantaranya adalah negeri Sihotang, Negeri Siringo-ringo, Negeri Manullang, Negeri Rambe (Pakkat).

Beberapa daerah yang rajanya diangkat oleh Sultan di Barus juga melakukan persembahan. Diantaranya Negeri Panggarutan, ‘Negeri Dairi’, Negeri Tombah, Negeri Tukka, Negeri Gomburan. Semua raja-raja yang disebut terakhir ini diangkat atas persetujuan Kesultanan Barus.

Kemudian semua persembahan tersebut dikumpulkan di istana Raja Tuktung. Dan dalam adatnya Raja Jonggi Manoar akan membeli persalin kain kepada Raja Tuktung. Raja Tuktung adalah kerabat Kesultanan Barus yang istananya berada dalam perbatasan wilayah Barus. Kedudukannya sangat dihormati selain sebagai kerabat Kesultanan tapi juga perjalanan menuju Barus harus melalui daerah kekuasaannya.

Setelah memberikan penghormatan kepada Raja Tuktung, maka perjalanan ke wilayah Kesultanan Baruspun dilakukan melalui Pangarabuan terus menuju istana Sultan.

Sultan Barus dan Dairi Dalam Politik

Selain itu, dalam sejarah juga diketahui bahwa orang-orang Dairi terlibat secara menyeluruh dalam mempertahankan Kesultanan Barus seperti terlihat pada tahun 1668. Hal itu tampak dalam laporan Melman, seorang Belanda yang ditugaskan mengamati peta politik Barus yang menggambarkan bahwa konstelasi politik Batak, khususunya antara kedua Dinasti yang memerintah yakni marga Pohan di Hulu dan Sultan Hilir, dikatakan bahwa saudagar-saudagar Batak berperan sebagai pengumpul komoditas-komoditas dari pegunungan sekitar Barus, seperti Pakkat, Dolok Sanggul, Dairi dan lain-lain menjadi pendukung Sultan Hulu, sementara Sultan Hilir didukung oleh saudagar Batak lainnya yang menjadi pengumpul di wilayah-wilayah antara Barus dan Air Bangis. Dari areal ini, kamper dan benzoin di dapat di Sibuluan, Batang Toru, Batu Mundam, Tabujang, Natal dan Batahan. [Melman to Pits (1669)].

Dari Barus, orang-orang Dairi yang banyak mengamalkan Islam secara kaffah adalah Sigalingging, Pardosi, Gajah, Hasugian, Malau, Nahampun, Tambunan, Tinambunan, marga Parna serta variannya dan marga-marga Dairi lainnya. Sementara itu, Marga Berutu, Munte dan lain-lain yang muslim diyakini lebih banyak dipengaruhi dari Singkil.

Barus, Dairi dan Batak Dipecah Belah

Dalam dokumentasi Belanda pada tahun 1694, saat mereka mulai sadar bahwa mereka tidak akan bisa bertahan di Barus, di tengah arus kompetisi ekonomi yang mulai ketat, tanpa dukungan dan kemurahan hati Sultan di Hulu. Hal itu dipahami oleh Belanda, karena dalam sebuah langkah brutal untuk melenyapkan Sultan di Hulu oleh Belanda, telah mengalami kegagalan karena dukungan sebuah pasukan ekspedisi militer yang terdiri dari kepala-kepala huta orang-orang Dairi yang setia kepada Sultan Hulu pada tahun 1693, setahun sebelum pengakuan Kompeni tersebut.

Setelah supremasi dan otoritas Sultan Di Hulu kembali ke semula, Sultan Minuassa, Sultan di Hulu yang memerintah saat itu, dilaporkan bermusafir ke Dairi untuk pengasingan sementara di pegunungan di belakang Singkil.

Dukungan yang diberikan oleh para raja-raja huta Dairi terhadap Sultan Di Hulu mengejutkan orang-orang Belanda, padahal sebelumnya telah ada perjanjian antara Kompeni dengan orang-orang yang diklaimnya sebagai tetua Dairi untuk memindahkan loyalitas mereka dari Sultan Hulu ke Hilir.

Dalam pengasingan Sultan, pihak Belanda yang tidak pernah putus asa untuk merusak tatanan hidup orang Batak di Kesultanan Barus mulai mendeklarasikan Sultan di Hilir menjadi Raja Barus. Untuk mendukung kebijakan mereka, orang-orang Dairi mulai didekati untuk menghianati kembali Sultan mereka. Hal ini tampaknya mendapat keberhasilan.

Pada tahun 1698, Sultan Minuassa yang mengasingkan diri sementara di Dairi kembali ke Barus, namun dia mendapati kekuasaanya telah hilang dan lenyap. Belanda bersikukuh bahwa dia bagi mereka hanyalah bara-antara bagi orang Dairi. Belanda berhasil mengangkat Sultan Hilir sebagai pemerintah boneka yang dapat disetir oleh perusahaan VOC.

Sultan Minuassa tidak menerima kecurangan yang dialaminya. Pada tahun 1706, dia berhasil menggalang kekuatan, khususnya dari semarganya di Dairi dan Singkel, untuk mengembalikan kehormatan dan harga diri sebagai Sultan penguasa Barus. Orang-orang Batak di pegunungan sekitar Barus juga mendukungnya. Usaha ini berhasil mengembalikan tahta dan istananya. Pada tahun 1709, paman Sultan Minuassa yang bernama Megat Sukka atau Sultan Bongsu Pardosi berhail melakukan gempuran mematikan terhadap lawan-lawannya, atas nama kedaulatan dan tahta Sultan Hulu, dan berhasil menguasai seluruh Barus. Usaha ini mencapai kemenangan yang fantastis sejak sebelumnya pihak Sultan di Hulu berhasil melobbi pihak Kerajaan Aceh untuk mengirimkan pasukan pendukung.

Namun pihak Sultan di Hulu tidak ingin memerintah secara egois di Barus. Kedaulatan Sultan di Hilir juga dikembalikan. Sekali lagi kombinasi Hulu dan Hilir dalam memerintah Barus seperti dahulu kala berhasil dikembalikan. Sultan Hilir dalam suratnya kepada Kompeni di Padang mengatakan bahwa Barus telah kembali ke sistem pemerintahan semula, yakni pemerintahan yang dikuasasi oleh dua dinasti. [Lihat surat Raja Barus (hilir) kepada VOC (1709), VOC 1777].

Orang-orang Batak Bersatu

Pada 1736-1740 merupakan tahun yang sangat krusial bagi bangsa Batak. Pada saat ini orang-orang Dairi membulatkan tekadnya untuk mendukung tahta dan kedaulatan Sultan Di Hulu yang mencakup semua wilayah Dairi, Sionom Hudon, Pakpak, Kelasan dan Simsim.

Demikian pula halnya dengan raja-raja Batak dari pedalaman. Para raja-raja Batak ini berkenan pula mengirimkan pasukannya ke Barus untuk menghalau teror yang dilakukan oleh kompeni Belanda.

Penduduk Sorkam dan Korlang, berhasil dimobilisasi oleh Raja Simorang dari Silindung untuk bersatu dan bersama-sama mengusir Kompeni atau VOC. Beberapa kali perang terjadi antara kedua belah pihak.

Sultan Minuassa dan Islam di Dairi

Peran Sultan Minuassa (Pardosi), yang bernama asli Sultan Munawwar Syah ini, tentunya tidak hanya pada dunia politik, diyakini melalui tangannyalah orang-orang Dairi di pedalaman banyak yang mengamalkan Islam secara kaffah. Sehingga sampai sekarang, orang-orang Dairi di pedalaman merupakan para muslim yang menganut Islam dengan gaya suluk dan sufi yang paling unik. Sistem suluk dan sufisme tersebut merupakan peninggalan dari Sultan Minuassa saat berada dalam pengasingan yang diyakini bertujuan untuk meningkatkan kadar spiritualnya.

Orang-orang Dairi banyak yang menjadi ahli suluk, sufi dan pengembang ajaran Islam di Aceh, khususnya bagian selatan seperti Singkil, Tapus, Manduamas, Alas dan Gayo. Selain itu, emansipasi pendidikan juga membuat banyak orang Dairi yang menjadi ulama dan panglima pada kerajaan-kerajaan di sekitarnya.

Pada pemerintahan Sisingamangaraja X, 1820, seorang panglima muslim bernama Syarif Tanjung dipercaya oleh Sisingamangaraja X untuk mengamankan Dairi. Benteng ini merupakan sistem pertahanan Sisingamangaraja X untuk mengamankan Salak di Dairi sebagai ibukota kedua pemerintahan Sisingamangaraja X. Marga-marga Tanjung yang berada di Sidikkalang diyakini berhubungan dengan panglima yang satu ini.

Sementara itu paska mundurnya Barus dan menjadi jajahan Belanda, Barus dipecah-pecah menjadi wilayah yang kecil-kecil, salah satunya adalah Barus Hulu yang meliputi beberapa wilayah; Negeri Rambe, Negeri Simanullang, Negeri Pusuk, Negeri Marbun, Negeri Tukka Dolok, Negeri Siambaton, Negeri Tukka Holbung Sijungkang dan Negeri Sionomhudon (Parlilitan & Tarabintang). Sebagian wilayah tersebut dihuni oleh orang Dairi dan berbahasa Dairi, khususnya Sionomhudon (Siennemkodin).

Wilayah ini, dalam administrasi kolonial Belanda bernama Onderafdeling Boven Barus, Kecamatan Barus Hulu, dengan asisten Demang berkedudukan di Pakkat. (Drs Gens G Malau, Buku Lopian Boru Sinambela hal 206-217, Yayasan Taotoba Nusabudaya, Jakarta 1997).
loading...

No comments:
Write comments

Blog Archive